Dr. Appe Hutauruk, SH., MH.
Advokat dan Dosen Universitas Mpu Tantular
PublikasiPendidikan.com | Jakarta. – Kejahatan atau tindak pidana (strafbaar feit, misdrijf, overtreding) merupakan perbuatan yang melanggar ketentuan hukum pidana dan dapat dikenai sanksi hukum, Kamis (2/10/2025).
Dalam suatu perbuatan pidana harus terdapat unsur melanggar hukum (wederrechtelijk), yang dapat berupa:
Perbuatan yang melanggar hukum;
Perbuatan yang tidak sah atau tidak memiliki izin;
Perbuatan yang merugikan orang lain atau masyarakat.
Tindak pidana tidak hanya menimbulkan masalah kemanusiaan, tetapi juga dianggap sebagai the oldest social problem atau masalah sosial yang telah ada sejak lama, seperti kemiskinan, perbudakan, ketidaksetaraan, dan perlakuan diskriminatif.
Karena dampak negatif dan potensi kerusakan yang ditimbulkan, perlu dilakukan upaya penanggulangan kejahatan dalam kerangka kebijakan pidana (criminal policy) sebagai bagian dari politik hukum negara Indonesia untuk mengantisipasi, mencegah, dan menanggulangi berbagai modus tindak pidana.
Kebijakan Pidana sebagai Political Will Pemerintah
Kebijakan pidana merupakan bentuk political will pemerintah dan termasuk public policy yang bersifat integral. Kebijakan ini tidak terpisahkan dari tujuan negara, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, melalui penegakan hukum (law enforcement) yang mengutamakan perlindungan masyarakat (social defence).
Kebijakan pidana harus dirumuskan secara serius dalam politik hukum pemerintah. Hal ini dapat dilihat dari pembentukan regulasi seperti KUHP, KUHAP, dan peraturan perundang-undangan lainnya, serta perilaku pemerintah atau birokrasi dalam tata kelola pemerintahan. Tujuannya adalah mengurangi frekuensi kejahatan yang merusak moral bangsa dan mengganggu aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dua Poros Hukum Pidana Menurut ROESLAN SALEH
Dalam bukunya Suatu Reorientasi Dalam Hukum Pidana, ROESLAN SALEH menyatakan bahwa ada dua poros yang menentukan garis hukum pidana:
Segi Prevensi: Hukum pidana sebagai hukum sanksi berfungsi untuk mempertahankan kelestarian hidup bersama melalui pencegahan kejahatan.
Segi Pembalasan: Hukum pidana sekaligus merupakan koreksi atau reaksi terhadap sesuatu yang bersifat tidak sah atau melanggar hukum.
Kejahatan Berdaulat: Ancaman dan Fenomena Sosial
Kebijakan pidana juga penting untuk mencegah kejahatan berdaulat, yaitu kejahatan yang berorientasi pada situasi budaya yang memungkinkan tindak kriminal menjadi faktor determinan dalam masyarakat.
Menurut The Lexicon Webster Dictionary, Volume II (1977), istilah “berdaulat” memiliki makna:
Bebas dari pengaruh atau kendali luar;
Mampu menghasilkan pengaruh atau dampak besar.
Kejahatan berdaulat terkait dengan fenomena budaya dalam transisi (culture in transition). Mark Findlay menggunakan istilah ini untuk menjelaskan relasi antara kejahatan dan globalisasi. Tb. Ronny Rahman Nitibaskara juga menekankan “budaya transisi” dalam pendekatan kejahatan berdaulat, menyoroti tekanan penyimpangan dan kejahatan dalam masyarakat.
Perbedaan utama antara kedua pendekatan ini terletak pada sebab timbulnya budaya transisi, namun esensinya sama: dalam masa transisi, pemerintah tidak boleh mempermainkan proses hukum atau menggunakan hukum untuk justifikasi kriminalisasi pihak tertentu, atau untuk melegalkan proyek dengan hidden ambition atau hidden interest.
Prinsip Kebijakan Pidana
Kebijakan pidana harus:
Merujuk pada asas legalitas;
Mengutamakan perlindungan masyarakat (social defence);
Menjadi instrumen preventif dan korektif terhadap berbagai bentuk tindak pidana;
Mendukung integritas hukum dan moral bangsa.
Penulis dan Hak Cipta:
Dr. Appe Hutauruk, SH., MH.
Lecturer, Advocate, and Legal Consultant
(Rinni Widiastuti)