PUBLIKASIPENDIDIKAN|BANTEN-UU Cipta Kerja No. 11 Tahun 2020 menurut Ahmad Pratomo (Kumparan, 9 Oktober 2020) membrangus prinsip-prinsip demokrasi ekonomi seperti yang tercantum dalam Pasal 33 UUD 1945.
Baca juga : Setelah Kebaya Merah, Kini Viral Video Syur Wanita Berkebaya Hijau
Sejak masih berujud RUU (Rancangan Undang-Undang) Omnibus Law Cipta Kerja yang sejatinya ditolak oleh berbagai kalangan itu hingga terkesan sungguh sangat dipaksakan pada akhirnya, toh disahkan menjadi UU oleh DPR RI saat menjelang malam, pada hari Senin, 5 Oktober 2020. Kehebohan pun terjadi, persis seperti proses pengesahan Revisi UU KPK pada 2019. Derap gerakan aksi dan unjuk rasa dari pihak yang menolak cukup massif.
Baca juga : Mengawali Tugas sebagai Pj Bupati Tulang bawang, Drs Qudrotul Ikhwan MM tanamkan Disiplin ke Seluruh ASN
Namun pemaksaan itu berhasil juga dilakukan hingga meloloskan UU Ciptaker No. 11 Tahun 2020. Namun, toh essensi yang mengatakan hendak menciptakan lapangan kerja justru sebaliknya. TKA (tenaga kerja asing) menjadi semakin leluasa masuk ke Indonesia dan merebut lapangan kerja yang merupakan hak warga pribumi. Begitulah akibat dari iming-iming terhadap investor yang diberi bonud untuk memboyong sekalian pekerja dari negeri asal mereka tanpa harus memakai tenaga kerja lokal anak bangsa Indonesia sendiri.
Baca juga : Ny Antari Jaya Negara Sarankan Balita Tak Pakai Popok saat Timbang
Jadi syarat ikutan bawaan investor masuk Indonesia ini jelas menjadi masalah baru yang menambah jumlah masalah lama bukan cuma dalam urusan perburuhan semata.
Realitasnya sejak UU Cipta Kerja disahkan sampai sekarang, soal dari masalah ketenagakerjaan semakin runyem. Banyak buruh dan karyawan yang di PHK. Bahkan tidak sedikit jumlah perusahaan besar yang juga ikut tumbang. Perusahaan penerbangan milik pemerintah pun diambang kebangkrutan berikut hutang yang sulit dibayar. Semua sempoyongan seperti Merpati Airways bahkan Garuda yang menjadi andalan dan kebanggaan pemerintah.
Baca juga : Pengisian Perangkat Desa Maguan, Kompetensi Panitia Dipertanyakan
Masalah yang fundamental terkait system perekonomian Indonesia pasca reformasi dalam perspektif sejarah mencarat tahapan dari Rapat Paripurna DPR yang mengesahkan Omnibus Law yang grusa-grusu dan tergesa-gesa itu sungguh jelas tidak transparan.
Menurut Ahmad Pratomo cacat substansi, cacat formil, dan cacat lainnya itu telah mencederai geliat dari pertumbuhan demokrasi di Indonesia.
Baca juga : Pengarahan Gubernur Lampung Dalam Rangka Pengantar Tugas Penjabat Bupati Tulang bawang
Dalam keanehan dan keganjilan proses dalam pembahasan RUU Cipta Kerja yang nyata sekarang hanya untuk memuluskan masuk investasi asing ke negeri kita ini, semakin jelas memperlihatkan wajah DPR (dan rekan mereka di pemerintah) yang semakin tidak competence dan semakin jauh dari nilai-nilai Pancasila dan prinsip UUD 1945, kata Ahmad Pratomo.
Baca juga:Bikin macet,pengaspalan jalan jalur Denpasar Gilimanuk di selemadeg
Dalam konteks ini, kebangkitan spiritual yang digaungkan oleh Eko Sriyanto Galgendu melalui GRMI (Gerakan Rekonsiliasi Moral Indonesia) makin mendesak dan perku direalisasikan dalam gerakan yang luas. Sebab nilainya yang kental memiliki kejujuran, keikhlasan, gairah mengabdi demi dan untuk warga bangsa Indonesia secara konsisten dan patriotik, amanah sesuai dengan wasiat yang tertulis dalam UUD 1945 dan Pancasila.
Baca juga : Argentina juara Piala Dunia 2022, Prancis kalah karena ini yang jadi, K Mbappe top scor.
Jika saja hasrat utama untuk menghadirkan UU Cipta Kerja itu bisa ditinggikan tujuannya untuk meningkatkan harkat dan martabat warga bangsa Indonesia, maka revolusi mental dan moral seperti yang diimpikan oleh konsep dari Nawa Cita itu sungguh tidak elok mencederai proses dari demokrasi yang sedang tumbuh di negeri kita.
Sebab kita membangun tidak boleh merusak. Apalagi sampai mencederai tata kehidupan yang ingin kita gunakan sebagai bagian dari upaya untuk membangun budaya bangsa yang terhormat serta beradab.